Hai, namaku Bombi. Aku sebuah Suzuki Escudo hitam berusia 15 tahun. Majikanku seorang pria matang berusia 40 tahun yang bekerja sebagai seorang akuntan di sebuah perusahaan swasta. Seingatku, aku dimiliki keluarga majikanku sejak anak tunggal mereka baru lahir. Ah, ingatanku saat itu masih belum begitu jelas, baru 5 tahun belakangan ini aku dapat mengingat jelas tiap kejadian dan percakapan yang terjadi.
Aku sangat sayang pada majikanku karena dia selalu merawat dan mengandalkanku untuk membawanya kemana saja. Aku dinamakan Bombi karena aku seperti bom-bom car, suka menyenggol kendaraan lain. Wajar, kalian pasti paham bagaimana cara membelah kemacetan di ibukota. Bagiku, bekas-bekas luka di sekujur tubuhku ini menandakan kegagahanku, sama seperti bekas luka pada pendekar atau ksatria dalam kisah superhero.
Namun, hampir 3 tahun ini istri dan anak majikanku tidak pernah menaikiku. Aku hanya bertemu anak lelaki majikanku sesekali, itu pun hanya dua hingga tiga kali dalam sebulan. Lima tahun lalu, pertama kalinya aku mendengar istri dan majikanku saling memaki. Bisa jadi lengkingan suara mereka yang mempertajam semua ingatanku akhir-akhir ini. Dua tahun berturut-turut mereka tak henti-hentinya melontarkan sumpah serapah yang aku sendiri tidak tahu apa sebabnya, terkadang diakhiri tangisan istri majikanku, terkadang juga diselesaikan dengan umpatan yang amat sangat kasar dan pintuku dibanting keras sekali. Sakit rasanya.
Sejak itu pula perangai majikanku berubah, dia lebih sering menghisap rokok, pulang larut malam, mudah naik pitam. Efeknya adalah aku lebih sering mencium kendaraan lain dan bekas lukaku jelas bertambah. Luka itu sama seperti milik majikanku saat mengantarkan istri dan anaknya ke sebuah rumah di pinggiran kota Jakarta dan mereka tidak pernah kembali lagi ke rumah majikanku.
Sejak itu, suasana menjadi lebih sepi hanya kebiasaan merokok majikanku yang tidak hilang. Sesekali aku diajak ke pinggir pantai saat tengah malam tiba, kadang juga aku diajak ke parkiran tempat hiburan malam, parkiran hotel dan garasi. Di garasi itu tidak pernah lama, paling cepat hanya dua jam kalaupun lama yaaah, sekitar tiga jam dan selalu membawa wanita, tapi nampaknya itu bukan rumah. Karena ada lelaki berseragam yang menghampiri majikanku ketika masuk garasi dan meminta uangnya.
Beberapa jenis wanita mengisi kursi depan di sebelah majikanku. Mulai dari yang memakai rok pendek, mini dress, hot pants, wedges shoes, stiletto. Tapi mereka semua tidak pernah menaikiku lebih dari tiga kali, sampai akhirnya ada yang melewati rekor itu.
Dia berbeda. Wanita ini tidak pernah menggunakan pakaian yang kurang bahan. Pakaiannya tertutup dan rambutnya terbungkus kain. Aku bisa merasakan aroma wangi parfum Elie Saab yang memenuhi kabinku. Wanita ini juga sering menggunakan sun visor-ku, sekedar untuk mengurangi silaunya sinar matahari sore atau berkaca pada cermin hanya untuk membetulkan lipstiknya. Lipstik kesukaannya adalah MAC Matte dan Maybelline Superstay Matte Ink. Kedua lipstik ini tidak meninggalkan bekas di bibir atau pipi majikanku.
Perangai majikanku menjadi lebih lembut, aku jarang mencium ataupun menyenggol kendaraan lain, bahkan kuperhatikan senyumnya lebih lebar. Mereka senang sekali bercerita sambil berpegangan tangan, sesekali wanita itu menyenderkan kepalanya di pundak majikanku.
Hari ini, majikanku sedang bersama wanita itu. Dia menjemput wanita itu dari tempat kerjanya untuk pulang ke rumah. Hujan besar mengguyur Jakarta, disertai kilatan-kilatan petir yang menyambar-nyambar. Kulihat mereka lebih banyak terdiam, hanya genggaman tangan mereka yang makin kuat. Mereka mulai berdebat, tapi tidak saling memaki. Wanita itu kemudian menangis dan menutup mukanya dengan kedua tangannya.
Majikanku menepikan mobilnya di pinggir jalan, dekat sebuah komplek perumahan. Hampir tidak ada kendaraan lain yang melintas. Yang terdengar hanya air hujan yang menubruk tubuhku dan suara isak tangis wanita itu. Majikanku berusaha menenangkan wanita itu dengan merengkuh tubuh wanita itu ke dalam pelukannya. Wanita itu kemudian memagutkan bibirnya ke bibir majikanku. Mereka berhenti berciuman setelah satu menit.
“I love you, Mas,” kata wanita itu
“I love you more. Aku nggak akan pernah buat kamu menangis seperti ini,” kata majikanku.
Mereka melanjutkan berciuman, isak tangis perempuan itu terhenti, berganti desah nafas mereka berdua yang semakin berat, sabuk pengaman dilepaskan dan satu persatu pakaian mereka pun tanggal. Majikanku memundurkan bangkunya untuk memberi tempat lebih pada wanita itu.
Sekarang wanita itu berada di atas majikanku. Tubuh mereka bersatu, mereka bermandikan peluh dalam kondisi dingin seperti ini.
Kata-kata seperti “I love you” keluar dari kedua mulut mereka disertai desahan erotis dan lenguhan-lenguhan yang baru kali ini kudengar di dalam kabinku. Majikanku belum pernah melakukan ini sebelumnya. Aku membantu majikanku dengan mengimbangi gerakan naik turun mereka, agar orang lain tidak mencurigai aktivitas mereka dari luar. Kuusahakan seminimal mungkin aku terlihat berguncang.
Aktivitas mereka diakhiri lengkingan tinggi dari keduanya, lalu tisu pun diambil agar cairan mereka tidak membasahi jok kulitku yang agak mengelupas. Semerbak aroma asin dan amis memenuhiku. Mereka pun berpakaian kembali, setelahnya pun mereka masih saling berciuman dan berpegangan tangan lebih erat.
Majikanku memacuku pelan dan berhati-hati, entah karena hujan atau ingin berlama-lama dengan wanita itu. Mereka tidak berbicara satu sama lain selama 60 menit hingga sampai ke depan rumah wanita itu. Majikanku melepaskan genggaman tangannya, membuka kunci pintuku. Kedua tangan majikanku ditempelkan pada wanita itu, mata mereka beradu dan dicumbunya lagi bibir wanita itu.
“Aku nggak cuma sayang, tapi aku cinta kamu. Hari ini aku kembalikan kamu ke suamimu, jangan pernah dia menyakiti hatimu dan tubuhmu lagi. Aku akan menunggumu,” kata majikanku.
Bulir air mata menetes lagi dari pipi wanita itu, diiringi sebuah anggukan.
Comments
Post a Comment